Selayang Pandang Gunung Manglayang


Bandung. Kota yang terkenal dengan surganya tempat wisata, fashion­, serta kuliner yang menggoda lidah untuk sekedar icip-icip. Ibu kota Jawa Barat ini memang menjadi pusat perhatian banyak orang ketika weekend tiba. Tak heran jika sekarang kota Bandung penuh dengan hiruk pikuk penduduk serta bangunan-bangunan yang menjulang langit biru, kemacetan, polusi, mainstream, wah lengkaplah sudah.

Bandung dilingkung ku gunung 

Mungkin kalimat tersebut sering kita dengar, dikalangan masyarakat Bandung khususnya.
Tepat sekali, Bandung yang dahulunya sebuah danau purba ini memang dikelilingi oleh deretan gunung, baik yang aktif maupun tidak. Pinggiran cekungan Bandung terdiri dari rangkaian gunung-gunung. Di utara, ada Gunung Burangrang, Gunung Sunda, Gunung Tangkuban Parahu, Bukit Tunggul, dan Gunung Putri. Sebelah timur ada Gunung Manglayang, di selatan ada Gunung Patuha, Gunung Tilu, Gunung Malabar, Gunung Mandalawangi. Di bagian tengah ada rangkaian gunung api tua, dan di barat dibentengi rangkaian bukit-bukit kapur Rajamandala. Bandung memang dilingkung gunung!

Namun jika ditanya, gunung apa saja yang ada di wilayah Bandung, tentu yang disebut adalah Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Burangrang, atau Gunung Sunda yang terkenal kala Pleistosen saat itu. Tetapi jika kita lihat dari deretan gunung-gunung di atas, tersebutlah Gunung Manglayang yang terletak di sebelah timur Bandung.

Gunung Manglayang, gunung tidak berapi ini terletak di antara Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Bandung.  Menapaki menara penjaga di timur rangkaian tiga gunung Legenda Sangkuriang – Burangrang – Tangkuban Perahu – Bukit Tunggul – Gunung Manglayang; Gunung Manglayang memiliki ketinggian ±1818 meter di atas permukaan laut. Jelaslah, dari tingkat ketinggian yang cukup rendah dibandingkan rangkaian gunung sebelumnya membuat gunung ini tidak terkenal oleh para pelancong dari luar kota. Paling tidak gunung ini cukup terkenal oleh penggiat alam di sekitaran wilayah Bandung.


Mendaki Gunung Manglayang dapat ditempuh secara singkat (bagi yang sudah biasa – tapi tidak bagi orang awam seperti saya he he). Kita bisa mulai mendaki melalui Wanama wisata Batukuda di daerah Cikoneng, Bumi perkemahan Palintang Ujungberung kab. Bandung, dan lewat desa Baru beureum Tanjung sari kab. Sumedang. Trek untuk mendaki Gunung Manglayang memang cukup berat, apalagi untuk para pendaki pemula. Kita disuguhi jalan setapak dengan kemiringan hampir 40 sampai 60 derajat, sesekali terdapat tanah datar yang bisa digunakan untuk beristirahat

Dengan trek yang cukup curam serta jalan setapak yang licin sehabis diguyur hujan, hari itu saya memberanikan diri untuk menanjak melewati bukit dan hutan yang terdapat di sepanjang perjalanan. Lalu tantangan pertama adalah tanjakan yang langsung curam, tidak ada sama sekali jalan mendatar, yang ada hanya menanjak dan menanjak. Tipikal gunung yang meruncing ini jarang sekali akar-akar pohon sebagai trek, melainkan bebatuan dan tanah-tanah licin. Ditemani dengan rekan sebaya yang cukup memiliki pengalaman nanjak, saya tergopoh-gopoh dan sempat beberapa kali tergelincir meskipun telah mencoba untuk berhati-hati. Satu jam berlalu tetapi masih sangat jauh mata memandang puncak, ternyata kami sangat lambat, dari waktu yang diperkirakan berkisar 2 jam, tetapi setelah 2 jam kami belum sama sekali melihat puncak. Sambil istirahat, kami menengok pemandangan yang terlihat menakjubkan, so wonderful. Pemandangan ini sempat mengurangi rasa lelah kami.


Sayangnya, langit sudah tak lagi cerah ketika kami mulai nanjak dari pos di Baru Beureum, bahkan rintik hujan sempat mengiringi langkah kami saat hendak nanjak. Kami segera berlomba dengan mendung yang mulai menggelayut di langit, berharap hujan tidak tumpah sebelum kami jauh melewati lereng cemara ini. Langit sempat mengelabui kami, kadang mendung tapi tiba-tiba matahari menampakkan cahayanya. Tapi kami tetap on fire untuk sampai ke puncak. Sesampainya di puncak, kami disuguhkan dengan pemandangan yang begitu menawan. Hmm, namanya memang tidak terlalu terkenal, tapi ternyata daya tarik dan pesonanya tidak kalah dengan gunung-gunung lainnya, kita bisa melihat 2 view sekaligus, yaitu pemandangan kota Bandung dan Sumedang yang menjadi suguhan utama di puncak timur. Sungguh pemandangan yang luar biasa, subhanallah. Tampaknya langit memang sedang tak bersahabat, baru beberapa menit rehat, kabut tebal sudah menghalangi pemandangan di sekitar pegunungan, sontak kami cemas karena langit pun sudah mulai menghitam. 




Cukup gondok karena tidak sampai satu jam kami berada di puncak, kami harus segera turun terlebih karena cuaca benar-benar tidak mendukung. Benar saja, ketika hendak turun, hujan deras mengguyur kami. Ditambah lagi dengan trek menurun adalah tantangan terberat. Hujan yang terus mengguyur semakin memperlambat pergerakan, beberapa kali kami harus merayap bahkan menggelincir di tanah karena jalur yang begitu licin. Sungguh perjalanan yang banyak tantangan, kami menikmati perjalanan ini tanpa keluh kesah dan dibarengi dengan gelak tawa karena masing-masing kami saling tergelincir bahkan terjatuh. Akhirnya kami harus kembali ke dalam hiruk pikuk suasana kota. 

Satu pelajaran yang saya dapati dari pendakian ini, bahwasanya segala sesuatu yang kita anggap mudah akan jauh terasa sulit bila tanpa persiapan yang matang, dan meremehkan segala sesuatu itu ternyata tidak sebanding dengan apa yang ada di sana. Ada sebuah kutipan yang sangat menarik dari Lord Robert Boden Powell yang dikenal sebagai Bapak Pandu Dunia. “Suatu negara tak akan kehabisan pemimpin jika di dalamnya masih terdapat anak muda yang penuh keberanian mendaki gunung tinggi dan menjelajah lautan”.

Dalam kutipan ini dapat kita lihat bahwa mendaki gunung perlu sebuah keberanian dan nyali yang besar. Ketika melihat bentangan jurang, hujan badai, maupun cuaca buruk, maka mental lah yang bermain. Semakin banyak diterpa, maka semakin kuatlah mental dan keberanian yang terbentuk. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Carita Pantun Basa Sunda

Teks Eksposisi Bahasa Indonesia | Pentingnya Mudik

Teks Anekdot | Fenomena Sosial | Mudik