Dari Kemacetan Hingga Pesona Jalur Alternatif


Mudik. Kegiatan yang mainstream terjadi saat hari raya umat Islam tiba. Hiruk pikuk penduduk kota tiba-tiba bermigrasi ke pedesaan, kampung halaman yang menjadi tujuan utama. 


Macet. Sesak. Paling sering terjadi dan hal yang lumrah kala mudik tiba. Para pemudik rela berdesak-desakan lewat kendaraan yang ditumpanginya demi sampai di kampung halaman. Ruas jalan yang tak terlalu lebar kini terpendat oleh berbagai kendaraan, kendaraan roda dua khususnya. 


Mudik dengan menggunakan sepeda motor menjadi salah satu pilihan utama. Badan rampingnya dapat selap-selip mengitari padatnya kemacetan yang mendera. Tapi bukan mudik namanya bila tidak ada macet, justru ini yang menjadi tantangan serta suasana yang berbeda ketika kembali ke kampung halaman. Alhasil, petugas lalu lintas kewalahan pada event yang satu ini, sistem formasi buka tutup jalan serta pengarahan melalui jalur alternatif menjadi solusinya.


Bicara soal kemacetan dan jalur alternatif, teringat peristiwa pada saat saya pulang dari kampung halaman pekan lalu. Sore itu saya bersama kakak dengan motor yang dikendarainya tiba di Kota Garut setelah menempuh perjalanan dari  Singaparna – Tasikmalaya yang hendak menuju Bandung. Baru saja roda motor berputar memasuki Kota Garut kemacetan sudah terpampang di depan kami sepanjang 1 km, menurut informasi yang saya lihat di time line twitter kemacetan ini ternyata terus berlanjut hingga kawasan Nagreg. Kesal karena jalur lalu lintas yang semrawut akibat perputaran arah, kakak saya memutuskan untuk putar balik menuju arah Samarang - Garut.

Menjelang matahari kembali ke peraduan, kami break di masjid kawasan Kampung Sampireun, istirahat sejenak dan melaksanakan ibadah shalat membuat kami merasa lebih fresh untuk kembali melanjutkan perjalanan. Kami sempat sedikit berbincang mengenai rute yang akan kami lalui nantinya, kakak saya bilang kali ini kami akan melalui Majalaya melewati Kamojang, Paseh, Ibun lalu tembus di Cileunyi atau Rancaekek. Saya sempat menggerutu atas rute yang dikatakannya, begitu karena yang saya tahu rute yang dilalui adalah full way dengan hutan yang gelap gulita. Bukankah keselamatan yang diutamakan, terlebih karena langit semakin menghitam.

Selepas break, kami segera menuju ke Kamojang. Motor terus melaju menembus gelapnya hutan malam itu. Jalanan cukup sepi, hanya nampak sesekali mobil dan motor yang lewat. Perjalanan dari Garut – Kamojang – Majalaya dipenuhi dengan pemandangan pegunungan yang sangat alami, jauh dari perkampungan penduduk. Kondisi jalannya naik turun dan di beberapa titik sangat curam sehingga harus ekstra hati-hati, berlaku untuk kedua arah. Saya cukup terkagum-kagum ketika melihat di sisi kiri pemandangan kota Garut yang terbentang pada malam hari,  sungguh eksotisme pemandangan kota Garut yang terkenal keindahan alamnya tak mengurangi pujiannya di malam hari.


Tak berapa lama kemudian, sampailah kami di gapura perbatasan Garut dan Bandung. Pada awal memasuki kawasan kawah Kamojang, pemandangan yang tak biasa saya temui, yaitu banyak pipa-pipa besar yang berujung pada beberapa bangunan. Mereka adalah PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) yang dikelola oleh PT. Pertamina dan PT. Indonesia Power; dan di sinilah untuk pertama kalinya energi panas bumi dimanfaatkan (seperti yang diusulkan warga kebangsaan Belanda, JB Van Dijk pada tahun 1918) secara komersial 1983. 

Kamojang merupakan salah satu gunung api tua di Priangan yang terletak sebelah tenggara kota Bandung. Kawasannya merupakan lereng dari kerucut Gunung Gandapura dengan topografi berbukit landai dan lereng lapangannya terjal, miring dan bergelombang. Bagian tengah kawasan sebenarnya merupakan bagian kerucut yang terpotong, sehingga keadaannya datar.


Kawasan ini memiliki potensi panas bumi yang luar biasa berupa lebih dari 20 kawah yang sudah dipetakan. Dua di antara kawah tersebut berbentuk danau dengan airnya yang mengepul. Karena itu, jika sekali waktu berkunjung ke sana, pengunjung bukan hanya disuguhi pemandangan alam. Keindahan alam Kamojang hanya merupakan secercah kemolekan alam Priangan. Selain itu, dari kawah-kawahnya terdengar  suara yang beraneka-ragam.

Sayangnya saat itu malam hari, sehingga saya tidak bisa menikmati kawah-kawah yang konon katanya memiliki fakta unik tentang suara yang keluar saat uap menghembus ke udara. Hanya hamparan hutan serta pipa-pipa besar yang dapat saya lihat kala itu.

Sepanjang perjalanan yang sepi dan dingin, saya ditemani oleh berbagai cerita yang diungkapkan oleh kakak saya. Ia yang senang offroad dengan motor trailnya membuat pengalaman serta informasi yang didapatnya ia bagikan kepada saya. Menurutnya, di mata penduduk setempat, keberadaan kawah-kawah di kawasan ini erat kaitannya dengan kegenda “Si Mojang” atau “Sang Gadis” sehingga tempat ini dinamakan Kamojang. Menurut cerita, kawasan tersebut sebelumnya merupakan tempat tinggal seorang mojang yang hidup bersama kedua orang tuanya. Mojang dalam bahasa Sunda sama artinya dengan gadis. Panggilan itu diberikan karena gadis tersebut berparas cantik jelita, sehingga banyak pemuda desa yang terpikat.

Kedua orang tuanya menginginkan agar anak gadisnya menikah dengan laki-laki yang bukan pilihannya. Umurnya sudah setengah baya, namun kaya dan menguasai tanah luas.  Tentu saja Mojang  tidak mau menjadi istrinya, apalagi menjadi istri yang kelima. Daripada harus menderita bathin,, ia memilih melarikan diri ke hutan sehingga orang tuanya kelimpungan.

Walau sudah dilakukan pencarian ke berbagai pelosok, usahanya tidak pernah membawa hasil. Ia tidak pernah mengetahui lagi keberadaan anak gadisnya. Sehingga sejak itu, tempat menghilangnya mojang tersebut dinamakan penduduk setempat : Kamojang.

Sekelumit legenda yang mewarnai keberadaan panas bumi di kawasan ini hingga kini masih berlanjut menjadikan Kamojang sebagai tempat wisata khusus.  Kawasannya seluas 8.000 hektar, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No 170/Kpts/Um/3/1979  ditetapkan sebagai suaka alam cq cagar alam seluas 7.500 hektar dan sisanya, 500 hektar sebagai taman wisata alam (TWA).

Hutan TWA Kamojang merupakan hutan alam yang termasuk formasi hutan hujan tropis pegunungan.  Akan tetapi sebagai  salah satu lokasi sumber panas  bumi di Jawa Barat, uap air gunung api Kamojang yang sudah mati di masa sekarang masih memberikan sumbangan yang tidak kecil artinya untuk kesejahteraan manusia. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber panas bumi Kamojang  menjadi sumber pembangkit pusat listrik tenaga panas bumi (PLTP).

Di masa datang, peranan panas bumi tersebut akan menjadi salah satu sumber  energi primer penting dalam pembangunan tenaga listrik. Akan tetapi sumber panas bumi tersebut sangat tergantung pada tegakan di atasnya. Secara sederhana, proses terjadinya panas bumi sederhana saja.

Sumber uap air yang dihasilkan berasal dari air hujan yang meresap ke dalam tanah. Prosesnya hampir tidak banyak berbeda dengan saat kita memasak air. Akan tetapi pada alam, produksi uap air yang dihasilkan sangat tergantung dari sejauh mana kondisi kawasan di atasnya. Hutan dan berbagai jenis tegakan di atasnya sangat  berpengaruh. Sebaliknya jika tegakannya dibabat, air hujan yang turun dari langit akan menjadi air larian. Akibatnya bukan hanya tingkat laju erosi makin tinggi. Produksi uap yang menjadi sumber panas bumi akan menurun.

Asal tahu saja, alam yang sudah bermurah hati akan marah jika diperlakukan manusia dengan tidak semena-mena.

Kembali ke perjalanan yang saya lalui.
Ternyata, tidak hanya menawarkan obyek wisata yang cukup menarik, kawasan Kamojang juga menawarkan sesuatu yang cukup menantang bagi para pengemar offroad maupun onroad. Kamojang yang berada di ketinggian membuat yang ingin mencapai ke sana mau tidak mau harus berhadapan dengan jalanan yang dihiasi tanjakan-tanjakan curam, termasuk satu tanjakan yang sudah sangat dikenal dan legendaris, yaitu tanjakan Monteng.

Bagi para offroader seperti kakak saya menaklukkan trek onroad Majalaya - Kamojang berikut menaklukkan tanjakan legendaris Monteng akan menjadi sebuah kebanggaan tersendiri, mengingat beratnya medan yang harus ditempuh. Berdasarkan data GPS, tingkat elevasi trek ini adalah titik start dari Majalaya di ketinggian ± 670 mdpl dan titik finish di power plant PLTP Kamojang pada ketinggian ± 1550 mdpl adalah ± 850 m dengan jarak tempuh ± 10 km, inilah yang menyebabkan jalan menuju kawasan Kamojang banyak dihiasi tanjakan-tanjakan curam.  

Begitulah sedikit fakta serta opini masyarakat yang beredar mengenai Kamojang serta rute yang mesti ditempuh, bagi yang senang tualang ada baiknya berkunjung ke kawah Kamojang untuk sekedar menikmati suguhan alamnya atau menggali informasi mengenai salah satu kekayaan alam Indonesia ini yaitu sumber panas bumi.



Referensi

(Kompas, 30 Oktober 2001) 








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Carita Pantun Basa Sunda

Teks Eksposisi Bahasa Indonesia | Pentingnya Mudik

Teks Anekdot | Fenomena Sosial | Mudik